Aku merasakan kegundahan yang teramat dalam, kegundahan yang aku sendiripun tak mengerti apa artinya. Aku mulai berkenalan dengan kerisauan, kerisauan yang kini kurasa dikala tak lagi dekat dengannya.
Mengingat beberapa saat silam. Tak ada yang spesial dalam perkenalan itu, ditanggal kesebelas pada bulan duabelas tahun ini. Semua berjalan flat, absurd, berlalu sebagaimana biasanya. Tak ada angin spesial yg bertiup dikala siang itu, yang terdengar hanya gemercik jatuhnya air alam disekitaran tempat kita duduk.
Pada hari yang sama waktu seakan berlari, membawa raga pada pertemuan yang kedua, sore itu. Dalam sebuah ruangan kosong, dan tetap dengan gemercik hujan yang setia menemani tiap hela pertemuan dan percakapan kita.
Saat itu aku masih bisa merasakan naluri profesionalitas pada diriku. Dikala kau tersenyum dengan manisnya, pada pose itu. Sejujurnya akupun demikian, bukan sebuah hal yang dibuat-buat, lekukan bibir ini benar-benar yang tertulus saat itu, meski belum kurasakan hal yang berbeda dari biasanya, dan meski tak ingin kuberharap terlalu jauh.
Tapi ternyata harapan itu tetaplah ada, sebuah harapan yang menginginkan hal yg luar biasa pada pertemuan yang sebenarnya biasa saja. Sebuah harapan yang terus terkumpul sempurna dengan bayang-bayang sebuah senyumannya. Senyuman itu serasa amoeba yang terus membelah diri lalu seketika bercengkrama di dalam kepala.
Sepertinya rasa ini mulai sedikit meniti dan terus meniti untuk menjadi sempurna. Perbincangan disebuah pagi pada hari kelima setelah pertemuan pertama itu seakan mengundang si-nyaman untuk menetap dalam jiwa, mendengar dan merasakan setiap kata yang kita haturkan seakan menghidupkan kembali pohon hati yang telah lama mati. Meski pada pertemuan itu masih sedikit absurd sehingga tak mengerti arah tujuannya. Ditanggal keenambelas bulan yang sama itu setidaknya kau menyisakan sedikit tanda dan secuil rasa bahagia dalam jiwa.
Waktu seakan mempunyai hobi berlari, membawaku pada tanggal kedua puluh bulan yang sama, yang menghantarku pada perjalanan yang sebenarnya tidak terlalu jauh tapi terasa jauh karna bersamanya. Kembali memberikan secuil kenyamanan saat dengannya meski belum ada keberanian untuk menjudge rasa apa ini? Setidaknya melahirkan kepedulian yang teramat besar padanya. Tak rela ia letih, walau letihnya itu karnaku juga. Tak rela ia dibasahi hujan meski lagi-lagi itu juga karnaku. Seakan semua aku yang memaksa meski raga ini tak berbuat apa.
Lagi-lagi kukatakan terlalu dini untuk menjudge rasa ini tapi aku takut akan terlambat jika tak segera menyadari yang sedang hadir kini.
Malam itu dihari kedua setelah pertemuan ketiga kita. Entah mengapa terasa berbeda walau raga sama seperti biasanya. Sedikit takut sempat terlintas namun aku bingung takut akan apa ini?
Esok kau pergi. Bukan cuma raga ternyata juga jiwa. serasa jauh walaupun kata-kata kita tetap selalu dekat dalam rangkaian pesan singkat. Aku kini serasa bodoh, serasa hina dalam keterpurukan yang seharusnya tak pernah ada. Seperti mengharapkan finish dikala tak berdiri digaris start. Layaknya ku sedang berdiri dibawah hangatnya malam lalu aku ketakutan akan kehilangan siang dari pangkuan, padahal pagi belum sedikitpun mengeluarkan tanda bahwa ia akan datang.
Kini aku merasakan kegundahan yang teramat dalam, kegundahan yang aku sendiripun tak mengerti apa artinya. Dan aku mulai berkenalan dengan kerisauan, kerisauan yang kini kurasakan dikala tak lagi dekat dengannya. Apakah ini yang banyak orang sebut dengan cinta? Yang meski singkat namun sangatlah membekas, ataukah ini hanya sebuah ketakutan? Sebuah ketakutan bodoh, ketakutan akan kehilangan seseorang yg sebenarnya belum pernah dimiliki. (RCKD)
No comments:
Post a Comment